Assalamu'alaikum Wr.Wb Selamat Datang di Blog Dunia Pendidikan Berbagi Wawasan Keilmuan, Keislaman Oleh : Sahrialsyah Sinar, M.Pd.I

Kamis, 16 Desember 2010

HUKUMAN YANG MENDIDIK DI SEKOLAH

Ada beberapa hukuman ‘tradisional’ yang dulu banyak dipraktekkan, seperti berdiri di depan kelas sambil mengangkat satu kaki atau memegang telinga, berlari keliling lapangan sekolah, menulis “saya tidak nakal lagi” 1000 kali, push up, dan sebagainya. Untunglah model-model hukuman yang menyiksa fisik tapi tak jelas manfaatnya itu sudah jarang dipraktekkan. Tapi bukan berarti hukuman model sekarang sudah baik semua.
    Beberapa bulan lalu saya menerima surat dari kepala sekolah tempat anak saya belajar (SMP). Isinya menyatakan bahwa siswa yang terlambat tiba di sekolah lebih dari lima menit akan dipulangkan (tidak boleh ikut pelajaran). Ini juga model hukuman yang tidak mendidik. Tujuan untuk menegakkan disiplin tentu saja dapat dimengerti, dan saya kira tidak ada yang tidak setuju. Tapi melarang anak belajar di sekolah hanya karena terlambat lebih dari lima menit rasanya sangat berlebihan.
    Aturan/hukuman yang senada dengan itu juga banyak diterapkan, bahkan di perguruan tinggi. Mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 20% dilarang ikut ujian.  Seperti saya ceritakan di postingan sebelumnya, ada juga dosen yang melarang mahasiwa masuk kalau terlambat lebih dari 15 menit (meskipun sang dosen sendiri juga tidak selalu tepat waktu).
Coba bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh salah satu dosen saya waktu kuliah. Beliau juga ingin supaya mahasiswanya rajin kuliah. Jadi, pada tataran tujuan, sama lah.. Yang berbeda adalah hukuman atau sanksinya. Beliau membuat aturan, bahwa mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80% harus membuat karya tulis (paper). Itu menurut saya salah satu bentuk hukuman yang mendidik. Asal tahu saja, saya dulu merupakan salah satu mahasiswa yang sangat menikmati aturan beliau secara ’sempurna’, karena saya memang tidak rajin kuliah dan saya juga senang menulis.
Apa yang dilakukan oleh dosen saya itu saya kira bisa diterapkan oleh siapa saja yang berprofesi sebagai pengajar. Daripada menyuruh pulang siswa, atau menulis kalimat ratusan kali yang tak jelas manfaatnya, mengapa tidak mempertimbangkan berbagai bentuk hukuman yang mendidik seperti membaca buku di perpustakaan yang meminta siswa meringkasnya, menyuruh siswa menulis puisi, minta siswa membuat kliping korang, mencari informasi dari internet, dsb. Jika kesalahan dilakukan secara kolektif oleh banyak siswa, membersihkan kelas juga termasuk hukuman mendidik, atau minimal tidak buruk.
    Hukuman yang baik juga tidak boleh ‘memperlakukan’ siswa yang membuat kesalahan. Ini prinsip yang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah dipraktekkan, terutama karena sensitivitas anak berbeda-beda. Ada yang cepat merasa malu, ada yang tidak. Tapi guru yang baik sensitif terhadap perbedaan kepribadian siswanya, sehingga dapat menakar hukuman yang diberikan agar tidak mempermalukannya. Karena hukuman yang memperlakukan biasanya justru membangkitkan naluri ‘dendam’ dan berpotensi membuat siswa membuat kesalahan lain yang lebih besar.
    Tapi, apa pun kesalahan yang dibuat oleh siswa, opsi pertama yang diambil oleh guru/dosen sebaiknya adalah “tanpa hukuman”. Kalau tanpa hukuman siswa yang melakukan kesalahan bisa memperbaiki perilakunya, mengapa mesti dihukum? Dalam banyak kasus, siswa dapat menjadi lebih baik jika diajak bicara dari hati ke hati. Kalau di sekolah, itu mestinya menjadi tugas guru Bimbingan dan Konseling (BK).

   Yang pasti, jika memang harus ada hukuman, apa pun bentuk hukuman yang diberikan, hukuman itu tidak boleh menghilangkan hak anak/siswa untuk belajar..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar