Assalamu'alaikum Wr.Wb Selamat Datang di Blog Dunia Pendidikan Berbagi Wawasan Keilmuan, Keislaman Oleh : Sahrialsyah Sinar, M.Pd.I

Minggu, 13 Oktober 2013

STUDI ISLAM DALAM KONTEKS KESARJANAAN


STUDI ISLAM DALAM KONTEKS PENGETAHUAN KESARJANAAN
Makalah ini dipersentasikan Pada Seminar
 Pendekatan Dalam Pengkajian Islam
Oleh :
Sahrialsyah S
Semester/ Jurusan: I /MPI
Dosen Pembimbing
DR. MUHAMMAD IQBAL, M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2013


DAFTAR ISI
KATA PENGATAR……………………………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..
A.Klasifikasi Pengetahuan Manusia…………………………………………………….
B.Studi Islam Dalam Kajian Ilmiah………………………………………………………..
C.Islam Sebagai Doktrindan Ajaran……………………………………………………….
D.Islam Sebagai Pemikiran………………………………………………………………
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………………
DAFTAR BACAAN……………………………………………………………………..












BAB I
PENDAHULUAN
            Berbicara masalah kajian tentang Islam tidak hanya terkait dengan persoalan ketuhanan atau keimanan saja, akan tetapi kajian keislaman  mencakup juga tentang sejarah kebudayaan Islam.
Dan kajian ilmiah tentang Islam dapat dibedakan antara Islam yang merupakan sebagai sumber dan Islam sebagai pemikiran serta fenomena sosial. Islam sebagai sumber bagi umat Islam adalah mutlak, doktrinal dan harus diterima kebenarannya. Sedangkan Islam sebagai pemikiran dan fenomena sosial, bersifat relatif, rentan terhadap perubahan.
Agama Islam, di samping sebagai keyakinan yang dianut oleh manusia dengan corak spritualnya, juga harus dipelajari sebagai objek kajian Ilmiah yang menarik. Alasannya adalah, Agama dapat mempengaruhi semangat kerja, semangat juang dan berkorban bagi pemeluknya. Bahkan menjadi kekuatan pendukung atau penghancur sebuah rezim.             
Di beberapa perguruan tinggi, kajian tentang Islam telah menjadi bagian kajian ilmiah. Misalnya Ms Gill University, Sarbonn University, dan lain-lain.
Pada bagian berikutnya kajian Islam berkembang, tidak hanya mengkaji tentang ketuhanan, tetapi juga mengkaji tentang ilmu-ilmu kealamam, sosial serta kemanusiaan. Pada kesempatan ini pemakalah ingin menguraikan secara ringkas keberadaan studi Islam dalam kajian ilmiah, hubungan dan implikasinya terhadap bidang ilmu kealaman, sosial, dan humaniora, studi Islam dalam tiga kelompok ilmu tersebut serta bagaimana pendekatan inter-disiplin dan multi-disiplin ilmu-ilmu ini dalam studi Islam.








BAB II
                                                    PEMBAHASAN
A.    Klasifikasi Pengetahuan Manusia
            Selain agama yang sumber ilmunya bearasal dari agama atau dari Allah SWT, Maka Semua Ilmu Pengetahuan yang kenal sekarang berseumber dari filsafat (Philosophia), yang dianggap sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan( mater scientiarum).Filsafat pada masa itu mencakup pula segala pemikiran mengenai masyarakat, lama kelamaan sejalan dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya beradaban manusia, sebagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat, memisahkan diri berkembang mengejar tujuan masing-masing. Astronomi (ilmu tentang bintang-bintang) dan ilmu alam (fisika) merufakan cabang-cabang filsafat yang pertama-tama memisahkan diri, yang kemudian diikuti oleh ilmu kimia,Biologi, dan geologi dalam abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru muncul ialah psikologi dan ilmu sosiologi.[1]
B.     Studi Islam dalam kajian ilmiah
Selanjutnya dapat dilihat bagaimana Studi Islam dalam peta pengetahuan ilmiah,  yang dapat dimulai dengan menjelaskan apa maksud dari Studi Islam tersebut. Studi Islam (Islamis studies= Dirasah al-Islamiyah) atau studi ilmiah tentang Islam adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah,  khususnya  dalam konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam sering diistilahkan dengan “ Islam pada tiga tingkatan “.  Yang pada dasarnya studi- studi ke- Islaman tidak pernah terlepas dari salah satu tingkatan ini, baik pada tataran wahyu, pemahaman atau pemikiran dan pengamalannya dalam masyarakat.
Islam sebagai wahyu adalah suatu hal yang sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam Al- Qur’an al- Karim. Maka dalam memahami islam sebagai wahyu adalah suatu hal yang sangat esensial dalam kajian- kajian ke- Islaman. Dan studi Tafsir             Al- Qur’an al- Karim adalah merupakan salah satu contoh studi Islam pada tataran yang pertama ini.
Pada tataran selanjutnya, yakni Islam sebagai pemikiran atau pemahaman, memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya dengan Islam sebagai wahyu. Banyak perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan perdebatan dalam tataran ke-dua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang manusia, apakah ia mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah ini ramai diperbincangkan oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya.     Selain itu, mengkaji proses Mu’tazilah yang kemudian menganut paham free-will juga termasuk dalam kajian Islam sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang ada dalam ayat puasa kemudian diartikan menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi Islam pada tataran ke-dua.
            Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti Alquran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya.
            Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai pengamalan berangkat dari pertanyaan dasar: bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan Islam?. Dari kajian ke-Islaman pada tingkat ke-dua dan ke-tiga inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu masyarakat, daerah, bangsa atau etnis Islam.
            Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta, contoh kajian pada tataran ini adalah “pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah”,  dan lain sebagainya. Dalam kajian-kajian ke-Islaman, tiga tataran ini memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalah pahaman antara pengkaji dengan pembacanya.
Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat diopservasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersubjektif dan inter-disiplin.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipothesis dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam.
Studi Islam juga memakai beberapa pendekatan tertentu dalam kajiannya layaknya ilmu-ilmu lainnya. Objek-objek studi Islam bisa didekati dengan pendekatan sosiologis, antropoligis, psikologis dan lain sebagainya.
Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dikatakan ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainya. Dengan demikian diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis.
Namun walaupun demikian, ternyata ada juga beberapa kendala menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu saja pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam dan memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya- misalnya, kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapi beberapa syarat-syarat keilmiahan seperti pengujian intersubjektif dan lain sebagainya.
Selain itu, bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional, ada beberapa objek, yang terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain. Seperti Sejarah Islam, bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juga merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan dalam pandangan mereka, khususnya dalam pemahaman sarjanawan Barat.
Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah bahwa kerangka dan langkah-langkah metodologi sebuah kajian tidak harus sama dengan kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian ke-Islaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian seperti yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. Dan  yang dikaji secara ilmiah dalam Islam adalah sejarahnya, baik sejarah pemikiran maupun sejarah kebudayaan dan peradaban. Dalam kaitannya dengan ilmu yang telah diterangkan diatas, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora, ketiga ilmu ini dapat dikaji dalam Studi Islam. Kita sudah  mengetahui bahwa sumber ilmu itu dari Tuhan. Tuhan mensiptakan alam jagad raya ini serta segala isinya untuk manusia yang yang diwahyukan Tuhan kepada UtusanNya. Alam jagad (termasuk didalamnya manusia) adalah ensiklopedi dari wahyu, dan wahyu adalah kamus (thesaurus) dari alam jagad[2]
Ilmu pengetahuan dari aspek pragmatis terbagi kepada dua. Pertama  ilmu kealaman seperti: Fisika, Kimia, Biologi yang bertujuan mensari hukum-hukum alam atau mensari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Kedua ilmu budaya yang mempunyai sifat tidak berulang. Di antara kedua ilmu itu terdapat pula ilmu sosial yang mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan sara memahami keterangannya Sedangkan ilmu pengetahuan manusia berdasarkan kepada klasifikasi ilmu menurut objek ilmu pengetahuan terbagi pada tiga bagian. Yaitu; Ilmu-ilmu Alam, Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora.[3]

1.Ilmu-Ilmu Alam
            Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu  teoritis yang didasarkan pada pengamatan dan percobaan-percobaan terhadap gejala-gejala alam, Fakta-fakta tentang gejala alam/ gejala kebendaan diselidik,dan diuji berulang-ulang melalui percobaan-percobaan (eksperimen),kemudian berdasarkan hasil eksperimen itulah dirumuskan keterangan Alamiahnya (teorinya). Teori tidak dapat berdiri sendiri, Teori selalu didasari oleh suatu pengamatan.
Ilmu pengetahuan Alam itu bermula dari rasa ingin tahu,yang merupakan suatu ciri khas manusia.Manusia mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda sekelilingnya, alam sekitarnya, bulan bintang dan matahari yang dipandangnya, bahkan ingin tahu tentang diri sendirinya.Rasa ingin tahu pada manusia adalah merupakan karunia Allah kepada manusia, sebagaimana firman Allah kepada malaikat, bahwa Allah menciptakan seorang Khalifah( Adam As) di muka bumi, kemudian Allah Mengajarkan Adam nama-nama seluruh ciptaan-Nya, Firman Allah Awt:
            Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama(benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat,lalu berfirman :Sebutkanlah kepadaku nama-nama benda-benda itu,jika kamu memang benar”.Mereka menjawab:”Maha suci engkau,tidak ada yang kami ketahui, selain daripada yang telah engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha tahu lagi Maha bijaksana”.Allah Berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu”( QS-Al-baqarah: 31,32 dan 33).

Rasa ingin tahu yang  terus menerus berkembang dan seolah-olah tanpa batas itu menimbulkan perbendaharaan pengetahuan pada manusia itu sendiri,hal ini tidak saja meliputi kebutuhan-kebutuhan praktis untuk hidupnya sehari-hari seperti bercocok tanam,atau membuat alat-alat berburu dan bertani. Pengetahuan manusia berkembang sampai menyangkut keindahan dan teknologi.[4]
Telah merupakan kenyataan yang tak tergoyahkan lagi bahwa pemikir ilmiah selalu berada di belakang setiap kemajuan yang disapai oleh manusia dari masa kemasa. Langkah pertama dimulai ketika manusia menemukan bagaimana caranya belajar melalui cara mencoba-coba (trial and arror), dan cara ini pada akhirnya membimbing manusia kepada pengetahuan yang ilmiah, yaitu pengetahuan yang melibatkan observasi dan eksprimentasi dan mencakup ilmu-ilmu kealaman dasar seperti kimia, fisika, matematika, astronomi, geologi, botani dan zologi, bersama dengan bentuk-bentuk terapannya dalam bidang pengobatan, pertanian, permesinan, farmasi, kedokteran hewan, dan lain-lain
Ilmu-ilmu kealaman disebut juga ilmu-ilmu eksakta (ilmu pasti)yang kebenarannya pasti, walaupun dalam kenyataan sosiologisnya bersifat kebenaran probabilistis. Yaitu sebuah teori keilmuan yang saat ini dianggap benar, namun besar kemungkinan pada saat yang  lain terori tersebut akan di tumbangkan oleh teori yang datang belakangan.

Ilmu-ilmu kealaman disebut juga ilmu-ilmu eksakta (ilmu pasti)yang kebenarannya pasti, walaupun dalam kenyataan sosiologisnya bersifat kebenaran probabilistis. Yaitu sebuah teori keilmuan yang saat ini dianggap benar, namun besar kemungkinan pada saat yang  lain terori tersebut akan di tumbangkan oleh teori yang datang belakangan.[5]
2.Ilmu-Ilmu Sosial
Prof. Dr. P.J. Bouman mendefinisikan ilmu sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perhubungan-perhubungan sosial antara manusia dengan manusia, antara manusia dan golongan manusia, serta sifat dan perubahan- perubahan dari bangunan dan buah fikiran sosial. Ia berusaha mensapai sintesis antara ilmu jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial, sehingga dapat memahami kenyataan masyarakat dalam hubungan kebudayaan umumnya.[6]
Dinamakan sebagai ilmu- ilmu sosial adalah  karena ilmu- ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajarinya. Ilmu-ilmu sosial belum mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil yang tetap yang diterima oleh sebagian besar masyarakat, karena ilmu-ilmu tersebut belum lama berkembang. Dan  yang menjadi objek dari ilmu- ilmu sosial ini  adalah  masyarakat/ manusia yang selalu berubah-ubah. Karena sifat masyarakat selalu berubah-ubah, hingga kini belum dapat diselidiki dan dianalisa sesara tuntas hubungan antara unsur-unsur di dalam masyarakat sesara mendalam.[7]
Ilmu sosial bukanlah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri seperti Pengantar Sosiologi,Pengantar Ilmu Ekonomi dan sebagainya, melainkan berasal dari berbagai bidang keahlian sebagai sarana untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang di hadapi masyarakat Indonesia.
Tujuan Ilmu Sosial adalah untuk membantu perkembangan wawasan, penalaran dan kepribadian manusia agar memperoleh wawasan, dan penalaran yang luas dari ciri-ciri kepribadian yang diharapkan dari Mahasiswa khususnya yang berkenaan dengan sikap dan tingkah laku manusia dalam menghadapi manusia-manusia lain, serta sikap tingkah laku manusia-manusia lain terhadap manusia yang bersangkutan secara tibal balik.

3.Ilmu Humaniora
Pembahasan mengenai humaniora, tidak jauh berbeda dengan ilmu sosial, sebab humaniora juga menempatkan manusia sebagai objek kajiannya. Perbedaan yang sangat tipis antara ilmu sosial dan humaniora adalah, ilmu sosial mengakaji tingkah laku manusia dengan manusia lainnya ketika dia berinteraksi. Sedangkan humaniora adalah mempelajari aspek etis dari inter aksi itu atau aktualisasi dari potensi manusia dalam wilayah fikiran, rasa, dan kemauan.[8]
Menurut Prof. Dr. T. Jasob, humaniora adalah Ilmu-ilmu “kejiwaan” (Geisteswissensshaften,”spiritual” scienses) dikurangi dengan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu perilaku (sebagian), atau dengan lebih fositif, ia mencakup bahasa dan sastra, sejarah kebudayaan, filsafat dan etika, hukum serta agama (teologi). Dengan pendidikan saya maksudkan edukasi, jadi meliputi pendidikan intelektual maupun etika. Dengan perkataan lain, lebih luas dari pada pengajaran dan latihan. Dengan pendidikan manusia diproses menjadi manusia dewasa yang utuh untuk kehidupan, di samping dilatih menjadi tenaga kerja untuk penghidupannya; jadi dia dipersiapkan agar adabtable terhadap lingkungan masa depan. Tidak hanya untuk lingkungan masa kini.[9]
C.Islam Sebagai Doktrin Dan Ajaran
            Islam merupakan Agama yang multidemensi yang dapat dikaji dari berbagai aspek baik dari tinjauan budaya, social maupun dari aspek doktrin, Agama Islam apabila ditelaah dari aspek doktrin maka yang akan muncul adalah ajaran-ajaran yang ada di dalam Agama Islam itu sendiri yang bisa saja ajaran tersebut tidak dapat diganggu gugat keberadaannya.Dalam Makalah ini kita akan membahas tentang Trilogi doktrin( ajaran),Islam yang biasa dikenal Trilogi illahi yakni, Iman,Islam dan Ikhsan.
Ada dua sisi yang dapat kita gun akan untuk memahami pengertian Islam,yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi ini pengertian tentang Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut.Dari segi kebahasaan Islam Berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Salima
Yang mengandung arti selamat, sentosa, dam damai, dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentu aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.[10]
Senada dengan pendapat diatas, sumber lain mengatakan bahwa Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat,sentosa dari kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat, kata aslama itulah  yang menjadi kata Islam,yang mengandung arti segala arti yang terkandung dalam arti pokonya.Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang Muslim. Orang yang demikian berarti telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. Orang tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya didunia dan akhirat.[11]
Dari Pengertian Kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata Agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh,hutang, balasan, dan kebiasaan.[12]
Senada dengan itu Nurcholis Madjid berpendapat bahawa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat dari pengertian Islam. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada Hambanya. Tetapi Ia diajarkan Oleh-Nya dengan disangkutkan kepada Alam manusia itu sendiri, dengan kata lain Ia diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam,tidak tumbuh, apa lagi dipaksakan dari luar. Karena cara yang demikian menyebabkan Islam tidak Otentik, karena hilangnya dimensinya yang paling mendasar dan mendalam,yaitu kemurnian dan keikhlasan.[13]



D.Islam Sebagai Pemikiran
Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan berdasarkan anggapan dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar penting bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakekat pandangan keagamaan – posisi Islam, sumber, fungsi dan metodologi pemikiran Islam — sangat signfikan untuk menentukan cara kerja epistimologi pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan.
Posisi Islam dan pemikiran Islam. Membedakan antara Islam dan pemikiran Islam sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran Islam tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah (al-nushushu al-mutanahiyah) melalui tindakan pengubahan baik penambahan dan pengurangan atau bahkan pengapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam (obyektif) sebagai wahyu adalah petunjuk universal bagi umat manusia. Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah ini, Allah secara jelas menyakatan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur, untuk muslim atau bukan (freedom of religion; qs. Al-Baqarah 256; Al-Kafirun 1-6). Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan dalam realitas keseharian unat muslim yang “lekang dan lapuk oleh ruang dan waktu” (al-waqai’ ghairu mutanahiyah).
Pemikiran Islam. Sumber Setiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Sumber pemikiran Islam adalah wahyu, akal, ilham atau intusi dan realitas.

Hanna Djumhana Bastaman memberikan beberapa pola pemikiran “Islamisasi sains” berkaitan dengan inter-disiplin dan multi-disiplin sebagai berikut :
a. Similarisasi           : Penyamaan konsep.
b. Paralelisasi            : Memparalelkan konsep.
c. Komplementasi    : Saling memperkuat satu sama lain.
d. Komparasi            : membandingkan konsep atau teori.
e. Induktivikasi        : Menghubungkan prinsip agama kepada asumsi-asumsi.
f. Verifikasi              : Pembuktian kebenaran agama oleh suatu hasil penelitian.[14]
           
E.Islam Sebagai Realitas Sosial ( Sejarah)
            Interdisiplin pendekatan akan terjadi bila sebuah objek sebuah displin ilmu didekati dengan pendekatan disiplin ilmu lainnya, sebut saja gabungan pendekatan sosiologis dan historis, atau sosiologis dengan psikologis. Contoh kajian yang menggunakan dua pendekatan adalah sosiologi sastra dimana ilmu kesastraan didekati dengan pendekatan sosiologis, kajian ini akan mempelajari aspek-aspek sturuktur masyarakat dalam sebuah karya sastra, sejarah sosial ummat Islam. Politik hukum Islam, dan lain sebagainya. Seperti yang dipaparkan diatas bahwa objek kajian-kajian ke-Islaman bisa didekati dengan beberapa pendekatan. Aspek hukum Islam bisa didekati dengan pendekatan psikologis atau sosiologis atau fenomenologis. Interdisplin ini sungguh berguna bagi kajian-kajian ke-Islaman, karena sebuah objek kajian akan dapat dipahami dengan lebih detil, dan seringkali kajian ke- Islaman yang menggunakan sebuah pendekatan tidak bisa menjelaskan sebuah penomena, lalu bisa dijelaskan dengan kajian yang mengambil objek yang sama tapi dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.[15]
            Sejarah Islam saja tidak akan bisa menjelaskan kenapa Ali tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk tidak berdamai dengan Mua’wiyah pada kejadian tahkim, kenapa para Qurra (pendukung dan tentara Ali) memaksa untuk berdamai, padahal ia adalah pemimpin sah, menantu dan sepupu Rasul, termasuk orang paling dihormati, pintar dan termasuk salah satu orang yang paling dahulu masuk Islam, kecuali bila didekati dengan pendekatan sosiologis. Kajian sejarah sosial ternyata bisa menjelaskannya dengan baik dengan mengemukakan bahwa ternyata pendukung Ali adalah orang-orang Arab Selatan yang tidak pernah hidup  dengan administrasi negara yang mapan, selalu terjadi pergantian pemimpin dalam kurun waktu yang singkat, badui, dan hidup miskin.[16]





























BAB III
KESIMPULAN
            Dari tiga kalasifikasi ilmu pengetahuan tersebut, satu dengan yang lainnya tidak bias terpisahkan. Dengan kata lain ilmu alam tidak bisa terlepas dari ilmu social dan humaniora, humaniora tidak bisa terlepas dari ilmu social dan ilmu alam, begitu juga ilmu social tidak bisa terlepas dari ilmu alam dan humaniora. Ketiganya saling berkaitan. Walaupun tampak pemisahan atau pembagian pengetahuan, bukanlah berarti ilmu itu tidak terkait satu sama yang lainnya. Pemisahan itu terjadi, karena ilmu pengetahuan itu berkembang dalam proses yang cukup lama. Tetapi dalam perkembangannya lebih lanjut, tampak kecenderungan generalisasi dari beberapa cabang ilmu pengetahuan, sehingga beberapa cabang ilmu pengetahuan itu bertemu kembali, karena pada hakikatnya satu unit. Studi Islam, berkaitan dengan tiga macam klasifikasi ilmu tersebut dapat dikaji secara epistimologi, sebab Islam menempati posisi sentral kajian keilmuan. Dan ternyata dapat dikaji dari berbagai perspektif, baik sosiologis, antropologis dan histories fenome.





















DAFTAR BACAAN
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.  IV,)      2004
A.Syafi’i Ma’arif, ISLAM, Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Cet., I ,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1997
 J. Bouman, Ilmu Masyarakat Umum, Pengantar sosiologi, terj. (Jakarta: PT. Pembangunan), 1961
Maulana Muhammad Ali, Islamologi(Didul Islam),(Jakarta : Ikhtisar Baru.Van Hoeve), 1980
 Nasruddin Razak,Dienul Islam,( Bandung : Al-Ma’arif), 1977
 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,( Jakarta : UI Press), 1979
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam, Demokratisasidan masa depan bangsa, (makalah pertemuan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN se-Indonesia, Yogyakarta), 1994
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam,(Jakarta,Cet.9 , PT.Grafindo Persada,) 2004
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradapan, sebuah Tela’ah Kritis Tentang Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,( Jakarta : Paramadina), 1992
Marshall Hodgson dalam sub-bab kajiannya The Shar’i Vision dalam  The Venture Of Islam, jil. I. (Chicago: Chichago University Press),  1974
Afzalur Rahman,Quranic Science. Edisi Indonesia, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan,Cet., II.( Jakarta: PT. Rineka Cipta), 1992
Risnawaty Lely dkk,IAD, IBD, ISD,(Medan:  IAIN PREES Medan),2002
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet., 34,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2002
T. Jacob, Manusia, Ilmu, dan Teknologi. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya), 1988










                [1]  Risnawaty Lely dkk,IAD, IBD, ISD,(Medan:  IAIN PREES Medan),2002.h.5
                [2] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam, Demokratisasidan masa depan bangsa, (makalah pertemuan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN se-Indonesia, Yogyakarta, 1994) 
      [3] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.  IV,  2004), h. 12

                [4] Ibid,Risnawaty Lely,h.7
        [5] Afzalur Rahman,Quranic Science. Edisi Indonesia, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan,Cet., II. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), h. 71

                [6].J. Bouman, Ilmu Masyarakat Umum, Pengantar sosiologi, terj. (Jakarta: PT. Pembangunan, 1961), h.13

[7]  Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet., 34 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.12

                [8] A. Syafi’i Ma’arif, ISLAM, Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Cet., I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 45
[9] T. Jacob, Manusia, Ilmu, dan Teknologi. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988), h. 68

                 [10] Maulana Muhammad Ali, Islamologi(Didul Islam),(Jakarta : Ikhtisar Baru.Van Hoeve, 1980), h.2
                 [11] Nasruddin Razak,Dienul Islam,( Bandung : Al-Ma’arif, 1977), cet II, h.56
                 [12] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,( Jakarta : UI Press, 1979, Jilid I), h. 9
                 [13] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradapan, sebuah Tela’ah Kritis Tentang Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,( Jakarta : Paramadina, 1992,Cet II), h.426
        [14] Lihat buku gagasan dan perbedaan; Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Moeflieh Hasbullah ed. (Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2000), h. 269.

        [15] sebuah karya monumental dalam kajian sejarah dengan menggunakan pendekatan sosiologis adalah karya Ira.M.Lapidus, A History Of Islamic Society (Cambridge University Press, New York, 1993), h.

                [16] Marshall Hodgson dalam sub-bab kajiannya The Shar’i Vision dalam  The Venture Of Islam, jil. I. (Chicago: Chichago University Press,  1974), h. 174