KEMBALI
KEPADA FITRAH
Oleh
: Sahrialsyah sinar
Lahirnya seorang manusis adalah bukti kekuasaan
Allah SWT yang telah menciptakan makhluknya dengan bentuk yang sebaik-baiknya.
Allah SWT berfirman.
“Yang artinya : Sungguh, kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” ( QS.At-Tiin : 4).
Selain
bentuk yang baik, Allah SWT juga melengkapi setiap manusia dengan fitrahnya,
yaitu suatu keadaan suci dan bersih. Masing-masing manusia pada awal proses
penciptaannya telah bersaksi kepada Allah SWT sebagai Rabbnya, artinya setiap
manusia telah dibekali potensi keimanan Oleh Allah SWT atau secara fitrah
sesungguhnya setiap manusia telah member kesaksian bahwa Allah adalah Rabb atau
Tuhan yang telah menciptkannya serta menata dan mengatur seluruh aktivitas di
jagat raya ini. Allah SWT berfirman.
“ Yang artinya : Dan Ingatlah Ketika tuhanmu
mengeluarkan dari Sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam keturunan mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap roh
mereka seraya berfirman bukankah Aku ini Tuhanmu ? Mereka menjawab, betul (
engkau Tuhan kami), kami bersaksi.( kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya ketika itu kami lenggah
terhadap ini.”(QS. Al- A’raaf: 172).
Ayat
tersebut menegaskan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah dan
memiliki hubungan yang dekat kepada Allah SWT. Namun masalahnya, setelah
manusia dilahirkan terjadilah perubahan, pergeseran, dan penyimpangan fitrah.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh yang dating dari luar dirinya,
khususnya yang paling dekat hubungannya, yaitu orang tua. Orang tuanyalah yang
pertama kali sangat berpengaruh kepada fitrah anak-anaknya. Seberapa jauh Iman
dan aqidah tertanam pada jiwa seorang anak tergantung kepada kedua orang
tuanya. Seberapa jauh kualitas keislaman dan kesadaran menjalankan nilai-nilai
Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti Akhlak pergaulannya, berpakaiannya,
dan segala bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Semua ini sekali
lagi tergantung kepada kedua orang
tuanya.
Rasulullah saw, bersabda.
Yang Artinya : Tidaklah setiap anak selain dilahirkan dalam keadaan fitrah (
suci) maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan Yahudi dan menjadikan Nasrani
( HR.Muslim).
Secara
harfiah fa abawaahu diartikan kedua
orang tua, namun secara luas dapat diartikan juga dengan lingkungan sekitar,
seperti lingkungan sekitar, seperti lingkungan pendidikan, pekerjaan dan sosial
kemasyarakatan yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi Yahudi atau Nasrani “ An yuhawwidaanihi aw yusashiraanihi”
bisa diartikan ke dalam dua hal:
Pertama
: benar-
benar menjadi orang Yahudi atau Nasrani. Dalam artian murtad atau pindah agama.
Walaupun pindah agama yahudi adalah sesuatu yang tidak mungkin karena agama
Yahudi adalah agama ras. Orang yang bukan berasal dari rasnya tidak mudah
begitu saja masuk ke agamanya karena agama Yahudi bukan agama misi yang
disebarkan kepada umat manusia sehingga dikalangan yahudi tidak dikenal istilah
misionaris. Sebaliknya kalau menjadi Nasrani sangat mungkin kerena agama
Nasrani adalah agama misi sehingga dikalangan mereka dikenal sebutan misionaris
dan program kristenisasi, khususnya di daearah- daerah terpencil.
Kedua
: Pengertiannya
bukan pindah ke agama yahudi atau nasrani, tetapi dalam beberapa hal perangai
dan perilakunya cenderung meniru dan mengikuti mereka. Baik dalam hal
berpakaian maupun pergaulan. Pakaian mereka yang tidak menutup aurat dan
pergaulan mereka yang tidak lagi mengindahkan ikatan muhrimnya sangat nyata di
zaman sekarang ini. Banyak umat Islam yang sudah mulai rusak fitrahnya.
Pengertian yang kedua inilah yang tampaknya banyak melanda umat islam dewasa
ini jadi pengertian menyahudikan dan menaasranikan lebih relevan dengan
pengertian yang kedua ini. Memang tidak sampai murtad dari agama. Tapi menolak
sebagian ajaran agamanya. Dalam artian fitrahnya tidak rusak secara total,
namun tercemar sebagianya dengan nilai-nilai dan ajaran Yahudi dan Nasrani.
Sehubungan dengan itu
hendaknya kita umat Islam selalu menjaga
dan memelihara fitrah anak-anak kita. Diantara tujuan berpuasa sebulan penuh
adalah mengembalikan fitrah kita yang mungkin terkontaminasi oleh nilai-nilai
diluar Islam. Inilah makna Idul Fitri yang sesungguhnya, yaitu kembali kepada
fitrah Islamiyah,Ghirah Islam, dan semangat menjalankan nilai-nilai dan ajaran
islam dalam kehidupan sehari-hari. Jadi Idul fitri atau lebaran bukanlah
sekedar ditandai dengan pakaian dan busana yang baru. Semestinya Idul fitri
atau lebaran ditandai dengan bertambahnya semangat ketaatan kepada Allah SWT.
Mudah mudahan kita
semua tergolong orang yang benar-benar merayakan hari raya Idul Fitri sesuai
dengan makna dan pengertian yang sebenarnya, yaitu kembali kepada fitrah,
kesucian jiwa, kebersihan hati, dan kejernihan aqidah, Amin ya Rabbal ‘Aalamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar