Assalamu'alaikum Wr.Wb Selamat Datang di Blog Dunia Pendidikan Berbagi Wawasan Keilmuan, Keislaman Oleh : Sahrialsyah Sinar, M.Pd.I

Minggu, 14 November 2010

SURAH AL-FATIHAH

1.Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha penyayang
2.segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam
3.Maha pemurah lagi maha penyayang
4.yang menguasai hari pembalasan
5.hanya kepada engkaulah kami menyembah dan hanya kepada engkaulah kami meminta pertolongan
6.tunjukilah kami jalan yang lurus
7.yaitu( jalan) orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan( pula jalan) mereka yang sesat

Rabu, 10 November 2010

BERQURBAN DAN KEIHKLASAN

BERQURBAN DAN KEIHKLASAN

yariat Qurban telah mengalami perjalanan yang panjang. Bagaimana tidak, Qurban merupakan salah satu syariat (aturan) yang pertama turun kepada manusia. Syariat ini turun pertama kali kepada dua anak Adam. Umur syariat ini sama dengan umur manusia hidup di dunia. Usia yang lama dan perjalanan yang panjang menjadikan syariat ini mengalami berbagai penyimpangan.

Hal ini di ingatkan Allâh kepada Nabi terakhir, Rasûlullâh Muhammad Saw., "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), Aku pasti membunuhmu! Berkata Habil, Sesungguhnya Allâh hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa." (Qs. Al-Maidah [5]:27)

Kenapa ada qurban yang di tolak (Qabil) dan diterima (Habil)? Bila kita perhatikan ternyata penolakan tersebut terjadi diakibatkan adanya unsus-unsur asarah (sikap manusia lebih mementingkan urusan duniawi). Dalam pengertian umum, apabila unsur ra’yu (pertimbangan akal) sudah ikut campur mengatur urusan wahyu itulah yang menjadi sebab diantara tertolaknya suatu amal ibadah. Meskipun perbuatan itu terlihat baik dan benar, tetapi Allâh Maha Tahu bahwa perbuatan itu tidak baik dan tidak benar.

Sering kita mendengar ungkapan "Yang penting ikhlas" orang sering tertipu dengan ungkapan seperti itu. Ikhlas yang mana? Apakah putera Adam yang qurbannya di tolak itu tidak ikhlas? Menurut pemikirannya, dia berqurban dengan ikhlas, tetapi kenyataannya Allâh menolak qurbannya karena tidak ikhlas.

Yang di maksud ikhlas adalah satu sikap mengosongkan satu pekerjaaan dari segala unsur selain unsur wahyu. Kita perhatikan firman Allâh Swt., "Wa mâ umirû illâ liya’budûllâha mukhlishîna lahuddîn - Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya." (Qs. Al-Bayyinah [98]:5) yang dimaksud "Mukhlishîna lahuddîn" bukan mengikhlaskan agama tetapi mengikhlaskan ibadah hanya bagi-Nya. Dalam arti dalam setiap ibadah diharuskan tunduk, patuh dan taat kepada syariat yang telah ditentukan. Jika demikian akan mendapatkan apa yang di nyatakan Allâh Swt., "Wallâhu yuhibbul mukhlisîn," Allâh menyukai orang-orang yang patuh, tunduk dan taat, dan seperti inilah gambaran dari keikhlasan.

Diantara dilalah (petunjuk) bahwa Qabil tidak ikhlas dalam berqurban muncul sifat hasud dalam dirinya setelah mengetahui qurbannya tidak diterima. Dia mengatakan "Laaqtulannak" karna engkau di terima sedangkan aku di tolak, biar di kemudian hari tidak ada saingan lagi tidak ada cara yang lain kecuali harus dihilangkan saingan itu. Inilah barangkali ciri dari ketidakikhlasan.

Keistimewaan umat terdahulu adalah ketika suatu ibadah itu diterima atau tidak, pada saat itu juga akan terlihat ciri-cirinya; seperti yang terjadi pada qurban anak Adam. Sehubungan dengan hal tersebut, Rasûlullâh Saw., pada satu saat pernah menyatakan kepada para sahabat dalam ungkapan yang mutlaq, "Satarauna asaratan," pada satu saat kalian akan melihat asarah (sikap manusia lebih mementingkan urusan duniawi).

Ada empat jenis pertanyaan yang biasa berlaku; (1) Pertanyaan karena ingin tahu, (2) Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, (3) Pertanyaan karena ingin memberi tahu, dan (4) Pertanyaan untuk menguji. Pada suatu saat Rasûlullâh Saw., mengajukan pertanyaan pada para sahabat,
Diantara makhluk Allâh, menurut kalian siapa yang paling beriman? Para sahabat menjawab, para Malaikat! Rasûlullâh menyatakan, tidak mengherankan jika para malaikat paling beriman karena mereka berada di sisi Tuhan mereka, siapa yang paling beriman selain malaikat?. Sahabat menjawab lagi, bila demikian, para Nabi! Rasûlullâh menyatakan, tidak heran para Nabi beriman karena wahyu turun kepada mereka, selain para Nabi? Para sahabat kembali menjawab, jika demikian kamilah yang paling beriman! Kembali Rasûlullâh menyatakan, tidak heran kalian beriman dan tidak ada alasan bagi kalian untuk tidak beriman sedangkan aku sebagai Nabi berada di tengah kalian, kalian melihat mu’jizat dan kalian menyaksikan wahyu turun di tengah-tengah kalian.

Setelah para sahabat kehilangan jawaban, kemudian Rasûlullâh menjelaskan, yang paling beriman diantara makhluk Allah dan yang paling mentakjubkan adalah mereka, orang-orang yang hidup jauh setelah kalian, mereka yang hanya menemukan suhuf, lembaran-lembaran wahyu (Alquran) tetapi mereka beriman kepada isi lembaran-lembaran tersebut. Merekalah yang paling beriman diantara makhluk Allah.

Di satu sisi Rasûlullâh mengagumi keimanan kita yang hidup di zaman ini, namun dari sisi lain (segi amal) Rasûlullâh merasa khawatir.

Asarah yang diungkapkan beliau secara muthlaq bisa berada dalam berbagai amal; dalam shalat, shaum, zakat, umrah dan haji termasuk di dalam qurban, sehingga jika semuanya mengandung unsur-unsur asarah, apakah kiranya termasuk ibadah yang diterima atau termasuk ibadah yang ditolak? Yang terakhir inilah yang perlu kita khwatirkan dan berusaha melepaskan segala unsur asyarat dari setiap amal ibadah kita.

Setiap umat mempunyai kaifiat tertentu dalam syariat, tetapi yang paling sempurna adalah syariat pada umat yang paling akhir karena berhubungan dengan qurban secara mutlaq. Qurban pada umat terakhir ini ada yang disebut 'Aqiqah, udhiyyah, dan hadyu. Pada semua syariat inilah Rasûlullâh merasa khawatir; dalam 'aqiqah, unsur ra’yu turut serta mengatur masalah wahyu sehingga bukan daging ‘aqiqah yang dibagikan melainkan daging yang telah dimasak. Ada ungkafan, "Jangan tanggung dalam beramal, dimasak sekalian daging 'aqiqah baru dibagikan!" Ungkapan tersebut sepertinya baik, padahal telah jauh melampaui syariat yang telah ditentukan. Inilah unsur ra'yu ikut campur dalam masalah wahyu.

Demikian pula dalam pelaksanaan hadyu pada ibadah haji. Berapa ratus ribu jamaah haji kita yang berangkat setiap tahunnya ke Makkah, namun dari sekian ratus ribu itu, kiranya berapa ribu yang melaksanakan hadyu (qurban) dengan baik dan benar? Sering terdengar banyak jamaah haji kita yang tidak melakukan hadyu di Makkah atau di Mina melainkan di kampung halamannya sendiri, dititipkan pada keluarganya untuk disembelih di sana, karena merasa akan lebih bermanfaat; masyarakat kampungnya bisa terbagi dan alasan lainnya. Padahal hadyu pada ibadah haji sifatnya sudah jelas merupakan hadyan balighan ka’bah. Ibadah qurban yang ditentukan tempat dan waktunya. Jika hadyu dilakukan di kampung halaman sendiri maka dengan demikian ibadah hajinya perlu diulangi lagi, ekstrimnya bisa dikategorikan tidak sah karena unsur ra’yu sudah ikut campur dalam masalah wahyu.

Pada suatu hari Rasûlullâh menjelaskan tata cara udhiyyah (qurban) namun ada diantara sahabat yang menyertakan ra'yu dalam pelaksanaannya. Salah seorang sahabat menyembelih hewan qurbannya sebelum shalat ied dilaksanakan dengan alasan dia ingin ibadah qurbannya yang paling pertama pada hari itu. Ketika Rasûlullâh mengetahui hal tersebut beliau bersabda, "Barang siapa yang melakukan sembelihan sebelum shalat maka dia harus menyembelih seekor kambing lagi sebagai ganti sembelihan yang tidak sah!."

Pada suatu kesempatan seorang sahabat di Tanya, "Bagaimana sembelihan yang kalian lakukan pada zaman Rasul? Sahabat itu mejawab, Seseorang menyembelih itu untuk dirinya juga atas nama keluarganya, lalu mereka memakannya, membagikan dan menyimpannya sehingga terjadilah kejadian yang seperti kau lihat pada saat ini, orang sudah saling membanggakan diri dalam qurbannya." Membanggakan diri karena merasa hewan qurbannya paling besar, paling bagus, dan paling mahal. Inilah yang dikhawatirkan Rasûlullâh, suatu saat umatnya akan saling membanggakan diri.

Suatu saat khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab sengaja tidak melakukan qurban. Keduanya tidaklah lupa ataupun sudah kehabisan uang untuk berqurban. Akan tetapi keduanya melakukan hal tersebut sebagai saddu dara'i (pencegahan) jangan sampai umat menganggap udhiyah itu wajib.

Qurban yang kita lakukan pada hari raya Iedul Adha, di hari-hari tasyrik merupakan sembelihan udhiyyah yang mudah-mudahan unsur-unsur ra'yu yang ada dalam benak kita tidak ikut campur dalam masalah wahyu. Semoga ibadah qurban kita termasuk ibadah yang diterima di sisi Allâh Swt. Amien! [Basyir, edited by Assaha]
____________________

Minggu, 07 November 2010

Function of shalat

  1. Shalat can restrain someone from doing shameful and unjust deeds.Allah said,.."shalat restrains from shameful and unjust deeds...."(QS.Al-Ankabut 29:45)
  2. shalat is the pillar of religion.Islam will be upheld if Muslim do shalat correctly.
  3. shalat is the key to all kindness.Rasullullah SAW.The first deed for which people will be brought to account on the day of judgement will be their shalats.If their shalats are good, then the rest of their acts will be good.On the contrary.if their acts will be bad"
  4. shalat is the foundation af faith.if someone considers shalat trivil,then that personb belittles Islam.
  5. shalat provides a way to be connected to Allah.
  6. shalat is the most beautiful way of praying.

Jumat, 05 November 2010

What Is shalat

Linguistically,Sholat means :
1.Prayer and praises
2.To pray for someone
for example.the angels do shalat to prophet Muhammad SAW.This means the angels pray for him.
3.To grant mercy.
For example, Allah does sholat to prophet Muhamaad SAW This means Allah grants the Prophet SAW His Mercy.
Terminologically, or in the context of fiqh,shalat is an act of worship that is opened by Takbiratul ihram and closed by salam.Every word and movement of shalat must be the same as the one exemplified by Rasullullah SAW,be it its conditions, pillars or sunnah.So,we cannot reduce or add anything to the words and movements of it.otherwise our sholat will be nullified.

Senin, 01 November 2010

KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

Ada beberapa kewajiban yang harus diperhatikan dan dilakukan setelah kita mempunyai Anak yaitu:
1.Bersyukur kepada Allah karena kita diberi anugerah dan amanah berupa anak.
2.Beraqiqah, yakni menyembelih dua ekor kambing pabila anak laki-laki, dan satu ekor kambing apabila anak kita perempuan
3.Memberi nama yang baik dan mulia
4.Menyusuinya selama dua tahun.
5.Mengkhitannya sebelum Baligh.
6.Mendidiknya sengan baik dan benar
7.Menikahkan ketika sudah cukup umur atau ada jodoh.